{

Movie Category 1

@Yayasan Pelopor Sehati 2014. Diberdayakan oleh Blogger.
Latest Post

SEJARAH MASYARAKAT KAMPAR Dalam rangka HUT Kabupaten Kampar ke 64

Written By Unknown on Selasa, 25 Februari 2014 | 05.37




Sama halnya dengan Propinsi Riau pada umumnya, Kamparpun menghadapi persoalan yang sulit dalam mengumpulkan keterangan – keterangan  tentang asal usul penghuni yang pertama ( early - man ).
Laporan penilitian arkeologi yang pernah dilaksanakan di Sumatera menyebutkan hingga sekarang, sulit / tidak ditemukan tulang – tulang dan fosil – fosil dari manusia pertama yang menghuni daerah ini. Semua penyelidikan geologi yang dilakukan di Sumatera selama abad terakhir tidak berhasil menemukan fosil mamalia prasejarah, seperti yang banyak ditemukan di Pulau Jawa.
Lebih lanjut laporan penelitian tersebut memperkirakan bahwa daerah yang kosong antara Kabupaten Kampar – Sumatera Barat, yang berhutan lebat, tidak ditemukan adanya alat – alat serfih batu, barangkali karena tidak adanya bahan – bahan mentah yang baik untuk membuat alat – alat batu karena kebiasaan orang purba di daerah ini menggunakan alat yang bukan batu, tetapi alat – alat yang terbuat dari bambu dan tulang. Tetapi tidaklah bahwa Kampar dan Sumatera Barat tidak didiami manusia hingga periode prasejarah. Tidak terdapatnya fosil – fosil kemungkinannya disebabkan karena sulitnya penyelidikan karena pada daerah tersebut  masih ditumbuhi hutan – hutan yang lebat.
Suatu bukti bahwa daerah Kampar pernah didiami oleh orang pada zaman prasejarah ialah dengan ditemukannya arca – arca perunggu yang ditemukan selama penggalian – penggalian dibagian Barat, Propinsi Riau ( Kabupaten Kampar ). Arca ini ada diruang pameran museum pusat Jakarta, ( dikatakan oleh pedagang yang menjual arca tersebut di museum bahwa asalnya dari kuwu dekat Bangkinang ).
Didalam buku sejarah daerah Riau terbitan Departemen Pendidikan dan kebudayaan cetakan ke 2 tahun 1986 disebutkan bahwa sungai kampar dahulunya merupakan sungai besar yang dilayari oleh kapal – kapal dagang sampai kehulunya di Muara Takus. Para ahli sejarah memperkirakan kedatangan kapal – kapal dagang tersebut terjadi pada awal tarikh Masehi bersamaan dengan masuknya pengaruh kebudayaan / agama Hindu yang dibawa oleh pedagang – pedagang dari zajirah India. Dalam cerita rakyat Kampar, Candi Muara Takus yang sampai sekarang belum terungkap tahun / abad didirikannya merupakan hadiah dari kerajaan India untuk masyarakat Kampar yang telah berjasa dalam menyelamatkan putri raja India kala itu.
Cerita – cerita rakyat dari berbagai daerah di Kabupaten Kampar yang penuh dengan nilai –nilai sejarah masa lalu tersebut, suatu saat akan menjadi bukti akan tingginya peradapan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat Kampar selama ini.
Keberadaan Candi Muara Takus serta serentetan cerita rakyat dari berbagai daerah di Kabupaten Kampar ini, perlu diteliti beterkaitannya untuk dapat mengungkap sepenuhnya tentang sejarah masa dulu dan asal – muasal masyarakat Kampar.
Masyarakat Kampar zaman dahulu, hidup berpindah – pindah dari suatu daerah ke daerah yang lainnya sambil mencari makanan dari sungai dan hasil alam lainnya dipinggiran sungai kampar yang dahulunya merupakan sungai yang sangat besar.
Bukti bahwa sungai kampar zaman dulu merupakan sungai besar, hal ini dapat dilihat dengan geomorfologi. Kalau kita tinjau peta geologi, garis pantai pada zaman sebelum dan sewaktu sriwijaya adalah garis tanah aluvium dengan tanah yang lebih tua, sehingga kalau kita cari posisinya sekarang lebih kurang pada lereng bukit barisan sekarang ini, dengan kata lain pinggang bukit barisan sekarang ini dahulunya merupakan pinggir sungai kampar zaman dulu. Artinya daerah dan desa – desa yang ditempati oleh masyarakat Kampar sekarang dahulunya merupakan dasar sungai dan daerah genangan air sungai.

I.             Sejarah Manusia Pertama

Jauh sebelum kapal – kapal dagang dari zajirah India sampai ke Kampar, pinggiran sungai kampar tersebut sudah dihuni oleh nenek moyang kita yang datang dengan perahu dari daratan Asia Hindia belakang secara bergelombang sesuai dengan keadaan alam dan iklim waktu itu.
Gelombang pertama adalah Ras Weddode ( Wedda ) yang bersamaan datangnya dengan Ras Melanesia, Austroloida dan Negrito, sisa dari Ras Wedda yang masih ada sekarang ini yaitu suku sakai, suku kubu dan suku orang utan serta orang bonai. Kemudian menyusul kedatangan Ras Rumpun Melayu tahun 300 SM, Yang terkenal dengan sebutan bangsa Proto Melayu. Keturunan manusia Proto Melayu ini adalah suku talang mamak dan suku laut.
Gelombang kedua dari Ras Rumpun Melayu datang sekitar 250 – 150 tahun Sebelum Masehi, para  ahli menyebutkan dengan istilah Deutro Melayu (Melayu Muda).
Dalam proses perkembangan yang terus belangsung dari suku Deutro Melayu dan percampurannya ( perkawinan ) dengan pendatang terdahulu serta dengan orang – orang yang datang kemudian, selanjutnya berkembang manurunkan manusia yang hidup sekarang ini. Keturunan suku Deutro Melayu tersebutlah yang merupakan mayoritas penduduk Kampar, bahkan Propinsi Riau pada umumnya.
Berbeda dengan Ras Wedda yang suka berpindah – pindah Ras Rumpun Melayu suka hidup menatap, bahkan ditempat – tempat yang dipandang baik, mereka mendirikan perkampungan / koto yang biasanya terletak dipinggiran sungai. Di tempat – tempat seperti inilah  mereka menetap bersama kaum karabatnya yang semakin lama  semakin berkembang sehingga menjadi beberapa suku yang menempati.

II.           Penyelenggaraan Hidup Bermasyarakat

Penyelenggaraan hidup bermasyarakat oleh nenek moyang masyarakat Kampar pada zaman prasejarah tidak jauh berbeda dengan masyarakat suku – suku yang sekarang hidup terbelakang / terpencil di Kabupaten tetangga sekarang ini seperti suku sakai, suku laut dan suku kubu. Cara hidup mereka masih saja seperti pada masa beribu tahun yang lalu, dan sangat kurang dipengaruhi oleh peradapan baru.
Seperti yang telah dikemukakan dalam uraian diatas, bahwa berbeda dengan penduduk asli dari Ras Weddoide, nenek moyang masyarakat / penduduk Kampar ini berasal dari Rumpun Melayu yang telah terbiasa hidup menetap dan pandai bertani serta berladang dalam suatu perkampungan atau yang lazim disebut dengan koto atau kenegerian yang kebanyakan terdapat dipinggiran sungai kampar. Pada masa awalnya kebutuhan hidup mereka semata – mata tergantung kepada alam ( food gathering ). Mereka pindah dari satu tempat ketempat lainnya untuk mencari bahan makanan dengan melakukan perburuan binatang dan menangkap ikan serta mengumpulkan hasil – hasil alam dari hutan.
Terhadap daerah – daerah yang dijumpai banyak hasil alamnya serta subur, Ras Rumpun Melayu ini biasanya hidup menetap dalam kurun waktu yang cukup lama. Akibat cara hidup yang menetap ini maka terjadilah pembentukan daerah demi daerah, yang merupakan perkampungan tempat kediaman keturunan mereka, dan hal ini mendesak suku bangsa Ras Weddoide ke daerah pedalaman ( sejarah Daerah Riau 1986 Ras Rumpun Melayu ).

III.          Kepemimpinan Adat

Sejalan dengan pertumbuhan perkampungan / koto yang kian waktu kian bertambah, maka dalam Ras Rumpun Melayu yang terus berkembang tersebut, mula – mula diangkatlah seorang “ketua” biasanya dipilih dari anggota masyarakat yang tertua dan memiliki banyak pengetahuan. Ketualah yang membuat perintah dan peraturan pada perkampungan yang menjadi kekuasaannya.
Daerah kekuasaan ketua tersebut dapat bertambah dengan merangkul daerah lain masuk kedalam wilayah kekuasaannya, atau dengan mendirikan daerah baru. Ketua yang daerah kekuasaannya bertambah besar tersebut disebut Datuok ( Da artinya sang, sedangkan tuok asal dari kata Tuo/Tua, jadi datuok artinya sang tua ) orang yang sudah tua. Demikianlah proses terjadinya kepemimpinan yang disebut Datuok (Ninik Mamak) tersebut.
Sejak zaman prasejarah, jauh sebelum adanya pengaruh dari bangsa lain ( India, Cina dan Arab ). Kepemimpinan adat di daerah Kampar sudah berjalan sesuai dengan letak wilayah dan penyebaran penduduk waktu itu. Daerah Kampar yang dialiri oleh sebuah sungai besar waktu itu, penduduknya bertempat tinggal dan mencari nafkah bercocok tanam, untuk kebutuhan hidunya ditepian sungai dan hutan yang ada waktu itu.
Peranan ninik mamak selaku pimpinan adat dan penghulu sudah sangat dominan dalam menata kehidupan bermasyarakat. Dalam periode zaman kuno pengaturan masyarakat bersendikan hukum adat yang menyangkut segala segi kehidupan seperti perkawinan, kelahiran, kematian, berladang dan bersawah, menangkap ikan, membangun rumah, mendirikan tempat ibadah, jalan, jembatan, upacara / kepercayaan dan sebagainya. Ninik mamak atau penghulu sebagai pimpinan masyarakat adat melaksanakan tugas kepemimpinannya berdasarkan kepada hukum adat yang telah ada secara turun menurun. Penghulu tidak dapat menurut kehendak pribadi. Ninik mamak atau penghulu disebut perangkat adat karena merekalah yang paling mengetahui tentang seluk beluk adat istiadat. Ninik mamak itu mempunyai wewenang penuh dalam negerinya dan jabatan yang disandangnya diwariskan menurut adat sesuai dengan alur dan kepatutan,… Ayu tatuang di ceghek - botuong tumbuo dimoto.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, datuok dibantu oleh pegawai, dubalang beserta monti / malin. Struktur pemerintahan adat ini dijalankan oleh pucuk pimpinan adat bersama – sama dengan pemangku adat lainnya sesuai dengan nilai – nilai yang telah tertanam dikenegerian tersebut. Pimpinan adat berkewajiban mengarahkan, mendorong, mengkoordinasikan dan mengselaraskan kegiatan – kegiatan masyarakat adat yang dipimpinnya.
Ciri – ciri kepemimpinan adat yang mendorong keberhasilan dalam menjalankan kepemimpinan itu oleh ninik mamak adalah seorang ninik mamak harus berwibawa, berani, mawas diri, mampu melihat jauh kedepan, berani dan mampu mengatasi kesulitan, bersikap wajar, tegas dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil, sederhana penuh pengabdian, berjiwa besar, sifat ingin tahu, pendorong untuk kemajuan dan perubahan kearah yang lebih baik, berwawasan luas, mampu mengendalikan diri, berkorban dalam keadaan lapang dan sempit, mampu mengendalikan marah dan emosi, memaafkan kesalahan orang lain, mengasihi sesama, menerima kesalahan kalau benar – benar terdapat kesalahan, suka memohon keampunan kepada Allah SWT, dan segala sesuatu yang dikerjakan berdasarkan musyawarah ( dahulukan runding dari kerja ).
Perbedaan pendapat dalam bermusyawarah merupakan hal yang wajar, agamapun menuntun bahwa perbedaan itu adalah rahmat, untuk itu dalam adat selalu dibiasakan menghargai pendapat orang lain, tidak membiasakan memaksakan pendapat kita pada orang lain, berbuat adil dalam memimpin, menguasai banyak informasi, memiliki strategi dan bersiasat ( tahu dengan ereng jo nan gendeng, tahu biang nan ka manombuok, gontiong nan ka mamutuih, takilek ikan dalam air, la tontu jantan – batinonyo ).

IV.         Masa Masuknya Pengaruh India ( Tahun 100 – 500 M )

Seperti sudah di singgung dimuka, sungai kampar yang dahulunya merupakan sebuah sungai besar yang dapat dialiri oleh kapal – kapal dagang dari hilir hingga kehulunya. Masyarakat pada zaman itu tinggal di puak – puak dipinggiran sungai yang tersebar dari hulunya di Minangga Kanwar ( Muara Takus ) sampai kehilirnya di Muaro Sako, menuju lautan Selat Malaka.
Masyarakat Kampar waktu itu hidup dengan kegiatan berburuh binatang, mencari ikan dan mengumpulkan hasil – hasil alam yang terdapat zaman tersebut. Nenek moyang masyarakat Kampar itu juga telah berani melayari sungai maupun lautan dengan mempergunakan sampan yang terbuat dari kulit kayu ( dondang ).


Pengaruh masuknya kebudayaan India di Daerah Kampar serta Riau umumnya, sepanjang penelitian yang dilakukan oleh para ahli belum dapat dinyatakan dalam angka tahun yang pasti. Sumber – sumber India belum dapat mengungkap awal hubungan Indonesia ( Kampar ) dengan India sebelumnya. Agaknya hubungan tersebut sudah intensif sekitar abad ke II Masehi ( Sejarah Nasional Indonesia jilid II 1984 ).
Satu hal yang sangat menarik atas pengaruh dan hubungan Kampar dengan India adalah tentang keberadaan Candi Muara Takus. Menurut cerita rakyat Kampar Candi Muara Takus tersebut dibangun sebagai hadiah dan pertanda adanya hubungan persaudaraan yang lazimnya di Kampar disebut dengan “ pulang sanak “ antara kerajaan India dengan ninik mamak Kampar masa itu.
Dalam cerita rakyat Kampar, dikisahkan tentang petualangan tiga orang ninik mamak yang gagah berani menelusuri sungai dan lautan dengan mempergunakan perahu yang lazim dipakai waktu itu. Dalam perjalanan petualangannya tersebut Datuk nan bertiga melihat seekor burung gaudo ( garuda ) sedang mencangkram dan membawa terbang seorang anak gadis yang masih muda belia. Datuk nan bertiga menduga pastilah gadis itu disambar oleh burung tersebut dan dibawanya terbang keangkasa.
Datuk nan bertiga tersebut adalah Dt. Rajo Dibalai ( Ahli Tabib – pengobatan ), Dt. Bandaro Tanjung ( ahli selam ), Dt. Sati Gunung Malelo ( ahli memanah ). Setelah paham apa sebetulnya yang telah terjadi, dua orang datuk lainnya meminta Dt. Sati Gunung Malelo untuk mengarahkan anak panahnya pada burung tersebut. Berkat kesungguhannya anak panah tersebut tepat mengenai burung “ Gaudo “ tersebut dan karena kesakitan akhirnya burung tersebut melepaskan putri tersebut dari cengkramannya dan sang putri jatuh kedalam laut serta tenggelam. Setelah menuju tempat tenggelamnya sang putri, selanjutnya dengan persetujuan bersama Dt. Bandaro Tanjung mencari putri yang tenggelam dengan menyelami lautan tersebut. Dengan keahlian yang dimilikinya dalam hal menyelam serta niatnya yang tulus untuk membantu, akhirnya Dt. Bandaro Tanjung kembali ke perahu dengan membawa sang putri yang sudah sekarat dan tidak sadarkan diri. Tanpa mengulur – ulur waktu Dt. Rajo Dibalai yang mengangkat sang putri dan meletakkannya di dalam perahu langsung berusaha untuk menyelamatkan nyawa sang putri yang sedang sekarat dan tak sadarkan diri tersebut. Berkat kerja sama Datuk nan bertiga inilah sang putri yang ditemukannya itu selamat dan sehat seperti sedia kala.
Setelah gadis tersebut sehat dan sadarkan diri perahu yang dipakai oleh Datuk nan bertiga mulai diarahkan ke Minangga Kanwar ( Muara Takus ) tempat asal datuk tersebut, dalam perjalanan pulang menuju negeri Datuk tersebut, tegur sapa Datuk nan bertiga hanya dijawab dengan gelengan dan sekali – kali senyum dari sang putri. Bahasa yang disampaikannya juga tidak bisa dimengerti oleh sang Datuk.
Setelah sampainya di negeri asal Datuk nan bertiga sang putri diasuh dan tinggal bersama dunsanak ( saudara ) perempuan sang Datuk. Disinilah sang putri tinggal bersama gadis – gadis Kampar dalam waktu yang cukup lama. Hanya melalui ucapan – ucapan yang tidak dimengerti sepenuhnya oleh gadis Kampar waktu itu dan nyanyian – nyanyian yang selalu disenandungkan sang putri komunikasi dapat dilakukan, makanya sampai sekarang orang Kampar, banyak yang menyenangi lagu India.
Datuk nan bertiga beserta pemuka adat lainnya setiap kesempatan membuat pemberitahuan dengan benda – benda dan bahasa isarat dengan  alat komunikasi waktu itu dan menghanyutkan disungai kampar perihal ditemukannya seorang putri tersebut, sehingga berita tentang ditemukannya sang putri menyebar luas melalui para pelaut dari luar maupun dari negeri Kampar sendiri.

Kedatangan Rombongan kerajaan India di Kampar

Bagi pelaut, pelaut ulung, tidaklah terlalu sulit untuk mencapai kepulauan Sumatera dari India. Mereka cukup dengan mengarahkan haluan kapal mereka ke timur dan berlayar dengan angin musim yang sedang berhembus dari Buritan. Apalagi teknologi pelayaran telah berkembang oleh pedagang – pedagang yang menuju Asia Barat waktu itu.
Sungai Kampar yang bermuara ke Selat Malaka, merupakan lalu lintas bagi kapal – kapal besar baik menuju dan datang dari Samudra India.
Kabar bahwa ada seorang putri yang ditemukan oleh ninik mamak Kampar dan saat itu masih berada di Kampar, terdengar oleh raja India yang memang telah lama mencari putrinya tersebut. Setelah mendapatkan informasi yang jelas, kerajaan India langsung mempersiapkan pasukan untuk menjemput putri tersebut menuju Minangga Kanwar. Jauh sebelum adanya informasi tentang keberadaan putri tersebut di Minangga Kanwar, Raja India telah pula mencari dibeberapa daerah, baik dari pasukan yang menggunakan jalur laut, dan ada juga pasukan darat dengan berkendaraan gajah.
Namun setelah adanya informasi bahwa putrinya tersebut berada di Minangga Kanwar, seluruh pasukan baik pasukan berkendaraan gajah maupun pasukan dengan kapal laut seluruhnya dikerahkan menuju Minangga Kanwar.
Mendengar akan datangnya rombongan pasukan dari kerajaan India untuk menjemput putrinya yang telah lama tinggal di Minangga Kanwar, Datuk nan bertiga beserta ninik mamak lainnya melakukan rembuk dan musyawarah untuk menyepakati persiapan penyambutan rombongan pasukan kerajaan dari India tersebut. Para ninik mamak penghulu adat yang telah mendiami puak – puak disepanjang tepian sungai kampar semua berdatangan ke Minangga Kanwar guna merembukkan persiapan penyambutan rombongan pasukan kerajaan India tersebut.
Satu persatu rombongan – rombongan kecil akhirnya sampai di Minangga Kampar, rombongan yang pertama kali sampai yaitu rombongan dengan mempergunakan kapal laut, karena ingin segera menyelamatkan sang putri rombongan dengan kapal ini berencana akan melakukan penyerangan ke daerah daratan, kapalnyapun disandarkan disebuah batu yang ada waktu itu, sampai sekarang batu tersebut oleh masyarakat Batu Bersurat disebut sebagai batu sandaran kapal, yang berlokasi di Bukit Kincung.
Oleh salah seorang orang tua waktu itu bernama Datuk Simalancar dengan diplomasi dan siasatnya, berhasil menahan serangan rombongan tentara kerajaan India tersebut, hanya dengan menanam dan meletakkan daun jelatang dipinggiran sungai dan menyampaikan kepada rombongan yang berada dalam kapal laut untuk tidak melakukan serangan, karena disini tidak ada kerajaan yang berkuasa, yang ada hanya para ninik mamak pemangku adat yang masing – masing memiliki kesaktian. Namun karena ingin segera menyelamatkan sang putri, rombongan pasukan kapal tersebut dikomandokan kedaratan untuk menjemput dan menyelamatkan sang putri. Tidak berapa lama mereka mendarat dan berpencar tiba – tiba mereka kembali semua ke kapal tidak tahan menahan kulitnya yang gatal – gatal dan membengkak akibat daun jelatang.
Akhirnya pimpinan rombongan pasukan kapal tersebut menyampaikan bahwa mereka tidak akan melakukan serangan lagi. Barulah ninik mamak, pemangku adat, orang – orang tua beserta para bomo dan seluruh masyarakat Kampar waktu itu melapangkan jalan dan menyambut kedatangan rombongan kerajaan India tersebut dengan tradisi adat  istiadat waktu itu.


Ternyata diluar dugaannya semua, rombongan kerajaan India sangat berkesan sekali atas sambutan dari ninik mamak dan masyarakat Kampar waktu itu, sang putri yang jemputnyapun ditemui dalam keadaan sehat dan bersenang hati, mala sang putri enggan untuk meninggalkan daerah Minangga Kanwar karena sang putri sangat kerasan dan senang tinggal di Minangga Kanwar karena masyarakatnya yang memiliki sopan santun serta beradapan yang tinggi dengan adat istiadatnya yang luhur.
Karena sang putri dibujuk tidak mau dibawa pulang, akhirnya sebagian rombongan kerajaan India ini kembali lagi ke India dan sebagiannya lagi tetap berada di Minangga Kanwar, sambil menunggu kedatangan pasukan lainnya yang mempergunakan jalan darat memakai kendaraan gajah. Oleh ninik mamak, kepada rombongan yang akan kembali ke India, dititipkanlah hasil – hasil bumi dan hutan Kampar untuk Raja India sebagai tali hubungan persahabatan.
Sepanjang penelitian sejarah selama ini baik berdasarkan sumber – sumber dari dalam negeri maupun dari luar, belum dapat diungkapkan angka tahun yang pasti kedatangan rombongan kerajaan India tersebut. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid II edisi ke 4 tahun 1984 terbitan Balai Pustaka, disebutkan bahwa telah terjadi hubungan dagang yang relatif sudah intensif sekitar abad II Masehi. Karena kedatangan rombongan kerajaan India inilah terbukanya informasi ke dunia luar bahwa Negeri Kampar dan kepulauan Sumtera yang bernama Swarnadwipa waktu itu merupakan daerah yang subur dan memiliki beraneka ragam hasil bumi dan hutan.
Keengganan sang putri untuk kembali ke Negerinya di India, dan keinginannya untuk menetap di Minangga Kanwar, mengundang masyarakat dunia untuk melihat dan datang ke Minangga Kanwar. Raja India sendiri menyetujui keinginan sang putri dan sebagai pengawal/penjaga keamanan atas banyaknya masyarakat dunia lain berdatangan, maka ditetapkanlah petugas pengamanan sebagaimana layaknya sebuah kerajaan. Putri Indira Dunia beserta pengawalnya dan perwakilan kerajaan tinggal dalam suatu komplek yang didalamnya juga dibangun candi – candi untuk kegiatan keagamaan sesuai dengan kepercayaan waktu itu.
 Dari aktifitas di komplek percandian inilah adanya pengaruh agama Hindu terhadap masyarakat Kampar waktu itu. Masyarakat Kampar yang dikepalai oleh Datuk sebagai ninik mamak beserta Bomo, Batin, Dukun dan Pawang sebagai penghubung dengan roh – roh Nenek Moyang terdahulu.

Dalam hal adat, Nenek Moyang sebagai penghulu dan pimpinan adat, sangat dihargai keberadaannya oleh perwakilan kerajaan India yang berada di Minangga Kanwar waktu itu. Ninik mamak beserta anak kemanakan hidup dengan mengumpulkan hasil – hasil alam serta mencari ikan disepanjang tepian sungai kampar. Hasil alam yang dikumpulkan tersebut dipertukarkan dengan kebutuhan lainnya dikomplek percandian untuk selanjutnya diperdagangkan oleh perwakilan kerajaan India keluar Negeri, sehingga dalam kurun waktu yang cukup lama, akhirnya Minangga Kanwar muncul sebagai kerajaan yang menguasai perdagangan dunia waktu itu.
Ninik mamak beserta masyarakat setempat juga berkembang mencari daerah – daerah baru yang subur serta banyak hasil alamnya sebagian ada yang mengembara menjelajahi daratan disebelah barat Minangga Kanwar yang terkenal alamnya sangat subur, dan ada juga yang menyelusuri tepian sungai kearah timur Minangga Kanwar. Demikian juga selanjutnya ada yang kearah utara dan selatan sehingga banyak daerah – daerah baru yang terbentuk sejalan dengan pesatnya perdagangan waktu itu.
Terhadap daerah – daerah baru yang terbentuk, diangkatlah penghulu – penghulu adat sebagai pimpinan masyarakat adat, pimpinan adatlah yang memberikan aturan kepada masyarakat adatnya sehubungan dengan kegiatan mengumpulkan hasil alam serta kegiatan kemasyarakatan lainnya. Hasil – hasil alam tersebut selanjutnya dipertukarkan di komplek percandian untuk menjadi barang dagangan ke luar Negeri. Oleh pihak kerajaan India yang hanya berkuasa sebatas lingkungan komplek percandian, sangat menghargai para ninik mamak karena jasa – jasanya yang sangat besar dalam menyelamatkan sang putri serta dalam menggerakkan masyarakat adat dalam mengumpulkan hasil – hasil alam.
Demikian juga para ninik mamak dari berbagai koto yang telah banyak terbentuk waktu itu, saling hargai – menghargai, tidak ada yang ingin mencampuri urusan ninik mamak satu koto oleh ninik mamak dari koto lainnya, mereka saling membina dan mengayomi anak kemanakan masing – masing, tidak ada yang mendominasi satu dengan yang lainnya. Tidak pernah ada perang saudara kalaupun ada perselisihan dan silang pendapat diselesaikan dengan musyawarah, satu koto / kenegerian dengan koto / kenegerian lainnya saling isi – mengisi, kunjung – mengunjungi, sanjung – menyanjungi dan menjalin hubungan kekeluargaan yang sangat akrab sekali, pada acara – acara perkawinan dan acara lainnya ninik mamak kedua belah pihak saling bertemu, dan perkawinan anak kemanakan diantara mereka menjadi tali perekat hubungan yang semakin erat.
Akibat daerahnya yang subur dan banyak memiliki hasil hutan serta masyarakatnya yang dinamis tersebut, menjadikan kerajaan di Minangga Kanwar saat itu sebagai pusat perdagangan yang besar. Pihak kerajaan hanya mengurusi perdagangan, sementara urusan kemasyarakatan menjadi wewenang ninik mamak selaku penghulu adat, dengan hanya berkonsentrasi pada bidang perdagangan tersebut akhirnya kerajaan Minangga Kanwar tumbuh sebagai kerajaan yang menguasai perdagangan dunia saat itu.
Apa nama kerajaan yang berpusat di Minangga Kanwar dulu, sekarang merupakan daerah Muara Takus, dimana terdapatnya Candi peninggalan sejarah, masih belum dapat terungkap, agaknya diperlukan kajian – kajian dan penelitian yang lebih infensif serta pengumpulan informasi – informasi baik dari dalam maupun dari luar untuk mengungkap fakta sejarah Candi Muara Takus tersebut.

V.      Masa Kepindahan Kerajaan Indah Dunia (Tahun 500 – 1000 M)

Perihal kepindahan pusat kerajaan indah dunia yang semula berpusat di Minangga Kanwar tidaklah dapat dinyatakan dalam angka tahun yang pasti. Kepindahan tersebut lebih disebabkan oleh sungai kampar sebagai lalu lintas kapal dagang dari berbagai Negara waktu itu, secara beransur - ansur mulai menyusut dan tidak dapat lagi dilayari sampai kehulunya di Minangga Kanwar. Sumber – sumber dari Kampar sendiri belum bisa mengungkapkan tentang kejayaan dan kemajuan daerah ini pada awal tarikh Masehi. Mungkin masa yang akan datang perlu penelitian yang lebih mendalam tentang sejarah masa lalu daerah ini, untuk membuka tabir rahasia dibalik keberadaan Candi Muara Takus yang sampai sekarang menjadi saksi bisu terhadap apa – apa yang telah terjadi di Negeri ini pada masa silam.
Akan halnya kepindahan rombongan kerajaan tersebut terlihat pada prasasti kedudukan bukit dan Talang Tuo, yang ditemukan di Palembang bertahun ke 682 Masehi dan 684 Masehi.
Prasasti ini memuat berita mengenai berangkatnya 20.000 orang tentara laut ke Palembang dengan armada dan 1.312 orang tentara darat dan berhasil merebut kota (Pangkalan) di Palembang. Kepindahan kerajaan Indah Dunia Minangga Kanwar tersebut bukanlah dilakukan sekaligus, akan tetapi pindah secara beransur – ansur yang terlebih dahulu dengan mengutus orang – orang tertentu untuk mencari daerah baru.
Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang berkuasa waktu itu ingin tetap mempertahankan sentral perdagangan dunia pada kerajaan yang dipimpinnya, karena sungai kampar yang selalu dan beransur – ansur surat permukaan airnya, tidak lagi strategis posisinya karena tidak dapat lagi dilalui oleh kapal – kapal dagang yang besar, maka Raja memerintahkan untuk mencari daerah baru yang tidak jauh dari Selat Malaka, maka diutuslah pegawai – pegawai kerajaan untuk mencari daerah baru disekitar Jambi dan Palembang, untuk dapat menguasai Selat Malaka sebagai lalu lintas perdagangan dunia waktu itu.
Bagi masyarakat dan ninik mamak waktu itu, kepindahan kerajaan tersebut tidaklah terlalu dipermasalahkan, karena waktu itu, sudah banyak juga pedagang setempat yang ikut berdagang sampai keluar negeri, malah dengan kepindahan pusat perdagangan oleh kerajaan waktu itu, membuka peluang bagi pedagang dari masyarakat sendiri untuk lebih mengembangkan usahanya.
Bagi pedagang setempat hal ini menjadi peluang untuk terlibat langsung dalam perdagangan dunia waktu itu. Banyak dari pedagang tersebut yang telah memiliki omset besar bahkan menjadi kaya raya, toke dan saudagar yang terkenal. Malah dengan kekayaannya tersebut ada yang lupa akan asalnya, menjadi sombong atas kemajuan yang diperolehnya serta durhaka kepada orang tuanya. Seperti kisah “ Silancang ” yang terdapat dalam cerita rakyat masyarakat Kampar.
Bersamaan dengan kepindahan pasukan kerajaan tersebut yang seiring dengan menyusutnya permukaan air sungai kampar, ninik mamak dan masyarakat yang menetap dipinggiran sepanjang sungai kampar waktu itupun beransur – ansur turun mengikuti permukaan air yang terus menyusut, dan menempati daerah – daerah baru yang timbul bagai pulau – pulau yang sangat subur. Maka dengan daerah – daerah yang baru timbul dan pinggiran – pinggiran sungai yang subur tersebut, maka banyak dari masyarakat yang ada waktu itu berpindah propesi dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan / alam menjadi petani.
Agaknya hal inilah yang menyebabkan nama – nama desa dari hulu sungai kampar hingga ke hilirnya banyak yang memakai istilah – istilah pulau seperti Pulau Jambu, Pulau Payung, Pulau Sarak, Pulau Rambai, Pulau Baru dan sebagainya ini menandakan bahwa daerah tersebut adalah daerah yang baru timbul akibat menyusutnya permukaan sungai kampar.
Ninik mamak penghulu adat yang memerintah waktu itu dengan keaktifannya mengatur daerah – daerah yang timbul tersebut menjadi negeri – negeri yang memiliki batas – batas untuk menjadi garapan masyarakat anak kemanakan waktu itu.
Candi Muara Takus sebagai pusat kerajaan dan pusat agama Budha yang cukup berkembang dan termashur waktu itu akhirnya tinggal begitu saja. Baru akhirnya reruntuhan Candi tersebut ditemukan kembali oleh seorang belanda pada akhir abad ke 18.
Menurut cerita rakyat dari berbagai daerah di Kabupaten Kampar tanpa dapat menyebut angka tahun yang pasti, sungai kampar pernah beberapa kali mengalami banjir besar ( ampuo ) dan sangat banyak menelan korban jiwa. Apakah itu gempa bumi yang diikuti oleh sunami kitapun diera sekarang ini masih sulit untuk memastikannya, tapi dalam kurun waktu yang sangat lama dan berabad – abad tersebut hal itu mungkin saja pernah terjadi sebagai akibat dari gejala – gejala alam.
Yang menarik dari kepindahan kerajaan Indah Dunia tersebut adalah keutuhan para ninik mamak dari berbagai negeri di Kabupaten Kampar ini yang tetap dengan pola kepemimpinan adatnya. Meskipun mereka diperkenalkan dengan system kerajaan selama kurun waktu berabad – abad dengan kehadiran kerajaan dikomplek percandian Muara Takus, namun kepemimpinan yang dilaksanakan di Kampar tetap dengan pola kepemimpinan adat, tidak ada raja yang berkuasa, semua beraja kemufakat. Segala sesuatu yang akan dilaksanakan terlebih dahulu dimusyawarahkan dan disepakati bersama. Sepanjang sejarah yang kita terima dan bukti – bukti outentik saat ini di Kampar hampir tidak ada raja yang berkuasa. Kalaupun ada, itu hanya bersifat sementara seperti kerajaan di kenegerian Kampar menurut nenek mamak disana raja tersebut merupakan raja yang berasal dari Malaka (Malaysia). Demikian juga halnya dengan kerajaan gunung sahilan, dikedua daerah tersebut disamping memiliki raja, namun keberadaan ninik mamak tetap eksis sebagai pengayom masyarakat, keberadaan ninik mamak selaku penghulu adat dan pimpinan masyarakat adat lebih dominan dibandingkan fungsi kerajaan.
Kepemimpinan adat lebih bisa diterima oleh masyarakat Kampar dibanding dengan sistim kerajaan, banyak juga yang datang dari berbagai daerah ke Kampar untuk mendirikan kerjaan, namun tidak ada yang terlaksana dengan baik, sehingga yang datang tersebut terpaksa mencari daerah lain selain Kampar, hingga sampai ke Siak dan daerah - daerah lain diluar Kampar.

VI.         Zaman Masuknya Pengaruh Islam ( Tahun 1.000 – 1.300 )

Kampar selalu menjadi perhatian bagi para sejarahwan dalam hal mengungkap berbagai kebenaran peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Karena alamnya yang subur dan hasil buninya yang telah terkenal semenjak abad pertama masehi, daerah ini menjadi tujuan dari pedagang dari berbagai penjuru dunia untuk menjalin perdagangan. Sebagai pusat penghasil lada dan marica, anatara tahun 500 – 1.400 Masehi, banyak orang asing yang berdatangan seperti Cina, Persia dan Arab. Dari pedagang – pedagang  Persia dan Arab tersebut agama Islam mulai masuk melalui hubungan perdagangan waktu itu.
Dinasti Umayah yang berkuasa di negeri Arab berusaha untuk menjalin langsung hubungan dagang dengan Kampar serta melepaskan diri dari ketergantungan pada negeri Cina. Akibatnya kerajaan T’ang ( Dinasti yang berkuasa di Cina ) dengan dukungan angkutan laut yang kuat menentang dan akhirnya berhasil mendesak pedagang – pedagang Arab dan Persia dari Kampar tahun 720 M sehingga agama Islam yang dibawa oleh pedagang – pedagang Arab, Persia, Gujarat itu tidak sampai tersebar luas di Kampar.
Sementara itu dinasti Umayah ditanah Arab dikalahkan oleh Dinasti Abbassiyah, yang tidak mempunyai perhatian terhadap pelayaran dan kurangnya kekuatan dibidang maritim. Sehingga perdagangan Islam mengalami kemunduran. Pada pertengahan abad ke XII Dinasti Abbassiyah mengalami keruntuhan dan pusat kegiatan Islam berpindah ke Mesir di tangan raja – raja mameluk. Pada abad XII pedagang Arab dan Persia muncul lagi di Kampar tepatnya didaerah Kuntu, yaitu pada saat memuncaknya kekuasaan kesultanan Mesir ( Fatimiyah ).
Pada saat yang sama di Aceh berdiri pula kerajaan Islam Dayah dibawah Sultan Johan Syah, dan kerajaan Islam Dayah ini tunduk dibawah kesultanan Mesir.
Bukti sejarah masuknya agama Islam ke Kampar yaitu adanya kuburan Syech Burhanuddin di Kuntu yang menurut sejarahnya menetap di Kuntu dari tahun 1171 M dan wafat pada tahun 1191 M. Pada saat beliau mengembangkan ajaran Islam, masyarakat Kampar waktu itu sudah dibawah kepemimpinan adat namun belum lagi memiliki agama. Kepercayaan dan budaya waktu itu masih peninggalan kebudayaan Hindu dan Budha yang berpusat di Minangga Kanwar. Ninik mamak pemangku adat yang lazim dipanggil Datuk beserta para Bomo ( orang yang punya kemampuan berkomunikasi dengan roh leluhur dan makhluk halus ) memegang peranan yang sangat penting dalam memimpin masyarakat waktu itu.
Masuknya pengaruh agama Islam ditengah – tengah masyarakat didahului dengan diterimanya ajaran – ajaran Islam tersebut oleh ninik mamak, baru selanjutnya menyebar  luas kepada masyarakat lainnya, Syech Burhanuddin sebagai penyebar ajaran Islam, sewaktu pertama datang ke Kuntu, beliau langsung mencari ninik mamak disana yang bergelar Datuk Mahudum. Melalui Datuk inilah beliau terus menerus menyebarkan ajaran Islam keberbagai daerah disekitarnya dengan perantara ninik mamak. Untuk  kepentingan penyebaran ajaran Islam beliau juga mengawini gadis daerah Kuntu dari suku Melayu Singkuang yang bernama Putri Cendrawasih.
Melalui perkawinan dan kegiatan – kegiatan keagamaan lainnya itulah, ajaran Islam diselaraskan dengan adat istiadat yang telah dianut oleh masyarakat selama ini. Ajaran Islam dan adat saling melengkapi dan tunjang menunjang seperti dalam ungkapan mengatakan adat bersendi sarak (agama) sarak bersendi kitabullah. Nilai – nilai adat istiadat yang telah mengatur norma – norma dalam kehidupan, bermasyarakat selama ini, menjadi semakin kuat dan terpelihara dengan masuknya ajaran Islam yang sama – sama bertujuan membawa ke kebaikan. Dengan berkembangnya ajaran Islam tersebut seluruh tingkah laku dan perbuatan serta dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang tidak sesuai dengan tuntutan Islam beransur – asnur ditinggalkan, halal dan haram, seperti kebiasaan memakan labiuku, tupai, koluang oleh nenek moyang kita selama ini mulai ditinggalkan. Penobatan ninik mamakpun dipilih dari orang – orang memiliki ilmu agama dan ketaqwaan yang tinggi terhadap Allah SWT.
Dari Kuntu, Islam menyebar berbagai daerah disekitarnya. Para pemeluk agama Islam yang berada di Kuntu, banyak yang melarikan diri keluar Kuntu akibat serangan dari pasukan Adityawarman tahun 1349 M dalam rangka merebut  daerah peper producing dari tangan Islam. Agama Hindu – Jawapun masuk ke Kuntu, sebagian rakyat yang sudah beragama Islam yang tidak suka, tunduk dan menganut agama Hindu – Jawa. Meninggalkan daerah Kuntu melalui Padang Sawah, Domo, Ludai, Batu Sasak, Mangilang, Pangkalan, Koto Baru, Rokan, sampai akhirnya ajaran Islam tersebut menyebar luas ke berbagai daerah  di Sumatera.
Masuk dan berkembangnya ajaran Islam tidak mendapatkan penolakan serius dari masyarakat Kampar  waktu itu, hal ini disebabkan karena nilai adat yang telah tertanam selama ini. Sangat televan dengan ajaran Islam sehingga para penghulu adat lebih dahulu dapat menerima dan akhirnya diikuti oleh masyarakat adat lainnya.
Penghulu adat selaku pimpinan formal masyarakat adat, strukturnyapun disempurnakan dengan unsur – unsur ulama selaku orang yang  menguasai ilmu agama dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya Malin sebagai pembaca do’a dalam acara - acara adat dan keagamaan dalam masyarakat, merupakan bukti nyata atas diterimanya pengaruh agama Islam dalam masyarakat adat. Sehingga dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat disamping berpedoman pada aturan dan nilai – niali adat juga berdasarkan anjaran agama Islam, seperti ungkapan “agama mangato, adat memakai”.

VII.       Terbentuknya Andiko 44

Setelah Sriwijaya runtuh diabad ke XIII, Sumatera tidak lagi memiliki sebuah kerajaan yang dapat menguasai pulau ini secara keseluruhan. Disaat di Pulau Jawa tumbuh sebuah kerajaan besar bernama Majapahit, Sumatera justru bermunculan kerajaan – kerajaan kecil dari daerah – daerah yang dulunya merupakan Mandala dari Sriwiyaja. Kampar yang dulunya merupakan sebuah sungai besar, timbul menjadi daerah baru yang terbentang diantara 3 (tiga) sungai yaitu sungai Rokan, Sai Kampar, dan Batang Kuantan.
Daerah bekas genangan air yang berangsur mengiring tersebut, merupakan lahan subur bagi usaha pertanian, sehingga merubah mata pencarian masyarakat dari berburuh dan mengumpulkan hasil hutan menjadi petani. Peran ninik mamak selaku pimpinan masyarakat adat sangat diperlukan terutama dalam menata pembagian wilayah untuk bercocok tanam bagi anggota persukuan masing – masing. Sampai sekarang pembagian wilayah yang dalam istilah adatnya lebih dikenal dengan istilah ulayat memiliki batas – batas alam yang satu kenegerian dengan kenegerian lainnya tidak ada yang tumbang tindih. Sepanjang mengikut apa yang sudah menjadi ketetapan oleh para pendahulu. Karena kearifan dan kepedulian dari ninik mamak inilah, menjadikan para ninik mamak sebagai pemimpin yang memiliki Kharisma di hati masyarakat adatnya.
Sehingga Kampar abadi sebagai negeri beradat, dengan ninik mamak selaku penghulu dan pimpinan masyarakat adatnya. Dan keberadaan pimpinan adat tersebut disegani oleh berbagai daerah yang ada  disekitar Kampar.


Pada saat Adityawarman menjadi raja di Pagaruyung, tahun 1347 Masehi diutuslah oleh beliau 2 (dua) orang petinggi kerajaan Pagaruyung ke Kampar yaitu Datuk Pepatih nan sabatang dan Datuk Ketemenggungan.
Beliau berdua diutus dengan maksud untuk menjalin persaudaraan dan menghimpun kekuatan dengan para ninik mamak pemangku adat yang berada disekitar Muara Takus karena Muara Takus waktu itu terkenal sebagai daerah “ Telaga Undang – Undang “ ( pusat dari berbagai undang – undang adat ) seperti dalam adat dikatakan “Undang – Undang di Kampar kiri, Undang Jati di Kampar kanan, Telaga Undang di Muara Takus”. Sebagai hasil dari misi tersebut dicaturlah adat ini dan terbentuklah pemerintahan Andiko nan 44. (Empat puluh empat) merupakan jumlah negeri yang tergabung dalam pemerintahan Andiko itu. Dan sebagai pusatnya ditetapkan di Muara Takus dengan Pucuk Andikonya Datuk Rajo Duo Balai.


                                                                     Penulis :  Masriadi
                                                                                       Ketua Yayasan PELOPOR Sehati
                                                                                       Pemerhati sejarah dan
                                                                                       Adat istiadat Kampar


















 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. YAYASAN PELOPOR SEHATI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger