SEJARAH
MASYARAKAT KAMPAR
Oleh
: MASRIADI ( YAYASAN PELOPOR )
Sama halnya dengan Propinsi
Riau pada umumnya, Kamparpun menghadapi persoalan yang sulit dalam mengumpulkan
keterangan – keterangan tentang asal
usul penghuni yang pertama ( early - man
).
Laporan penilitian arkeologi yang
pernah dilaksanakan di Sumatera menyebutkan hingga sekarang, sulit / tidak
ditemukan tulang – tulang dan fosil – fosil dari manusia pertama yang menghuni
daerah ini. Semua penyelidikan geologi yang dilakukan di Sumatera selama abad
terakhir tidak berhasil menemukan fosil mamalia prasejarah, seperti yang banyak
ditemukan di Pulau Jawa.
Lebih lanjut laporan
penelitian tersebut memperkirakan bahwa daerah yang kosong antara Kabupaten
Kampar – Sumatera Barat, yang berhutan lebat, tidak ditemukan adanya alat –
alat serfih batu, barangkali karena tidak adanya bahan – bahan mentah yang baik
untuk membuat alat – alat batu karena kebiasaan orang purba di daerah ini menggunakan
alat yang bukan batu, tetapi alat – alat yang terbuat dari bambu dan tulang.
Tetapi tidaklah bahwa Kampar dan Sumatera Barat tidak didiami manusia hingga
periode prasejarah. Tidak terdapatnya fosil – fosil kemungkinannya disebabkan
karena sulitnya penyelidikan karena pada daerah tersebut masih ditumbuhi hutan – hutan yang lebat.
Suatu bukti bahwa daerah
Kampar pernah didiami oleh orang pada zaman prasejarah ialah dengan
ditemukannya arca – arca perunggu yang ditemukan selama penggalian – penggalian
dibagian Barat, Propinsi Riau ( Kabupaten Kampar ). Arca ini ada diruang
pameran museum pusat Jakarta,
( dikatakan oleh pedagang yang menjual arca tersebut di museum bahwa asalnya
dari kuwu dekat Bangkinang ).
Didalam buku sejarah
daerah Riau terbitan Departemen Pendidikan dan kebudayaan cetakan ke 2 tahun
1986 disebutkan bahwa sungai kampar dahulunya merupakan sungai besar yang dilayari
oleh kapal – kapal dagang sampai kehulunya di Muara Takus. Para ahli sejarah
memperkirakan kedatangan kapal – kapal dagang tersebut terjadi pada awal tarikh
Masehi bersamaan dengan masuknya pengaruh kebudayaan / agama Hindu yang dibawa
oleh pedagang – pedagang dari zajirah India. Dalam cerita rakyat Kampar,
Candi Muara Takus yang sampai sekarang belum terungkap tahun / abad
didirikannya merupakan hadiah dari kerajaan India
untuk masyarakat Kampar yang telah berjasa dalam menyelamatkan putri raja India kala itu.
Cerita – cerita rakyat
dari berbagai daerah di Kabupaten Kampar yang penuh dengan nilai –nilai sejarah
masa lalu tersebut, suatu saat akan menjadi bukti akan tingginya peradapan adat
istiadat yang dianut oleh masyarakat Kampar selama ini.
Keberadaan Candi Muara
Takus serta serentetan cerita rakyat dari berbagai daerah di Kabupaten Kampar
ini, perlu diteliti beterkaitannya untuk dapat mengungkap sepenuhnya tentang
sejarah masa dulu dan asal – muasal masyarakat Kampar.
Masyarakat Kampar zaman
dahulu, hidup berpindah – pindah dari suatu daerah ke daerah yang lainnya
sambil mencari makanan dari sungai dan hasil alam lainnya dipinggiran sungai kampar
yang dahulunya merupakan sungai yang sangat besar.
Bukti bahwa sungai kampar zaman
dulu merupakan sungai besar, hal ini dapat dilihat dengan geomorfologi. Kalau kita
tinjau peta geologi, garis pantai pada zaman sebelum dan sewaktu sriwijaya
adalah garis tanah aluvium dengan tanah yang lebih tua, sehingga kalau kita
cari posisinya sekarang lebih kurang pada lereng bukit barisan sekarang ini,
dengan kata lain pinggang bukit barisan sekarang ini dahulunya merupakan
pinggir sungai kampar zaman dulu. Artinya daerah dan desa – desa yang ditempati
oleh masyarakat Kampar sekarang dahulunya merupakan dasar sungai dan daerah
genangan air sungai.
I.
Sejarah
Manusia Pertama
Jauh sebelum kapal – kapal
dagang dari zajirah India sampai ke Kampar, pinggiran sungai kampar tersebut
sudah dihuni oleh nenek moyang kita yang datang dengan perahu dari daratan Asia
Hindia belakang secara bergelombang sesuai dengan keadaan alam dan iklim waktu
itu.
Gelombang pertama adalah Ras Weddode ( Wedda ) yang bersamaan
datangnya dengan Ras Melanesia,
Austroloida dan Negrito, sisa dari Ras Wedda yang masih ada sekarang ini
yaitu suku sakai, suku kubu dan suku orang utan serta orang bonai. Kemudian
menyusul kedatangan Ras Rumpun Melayu
tahun 300 SM, Yang terkenal dengan sebutan bangsa Proto Melayu. Keturunan manusia Proto Melayu ini adalah suku talang
mamak dan suku laut.
Gelombang kedua dari Ras
Rumpun Melayu datang sekitar 250 – 150 tahun Sebelum Masehi, para ahli menyebutkan dengan istilah Deutro Melayu (Melayu Muda).
Dalam proses perkembangan
yang terus belangsung dari suku Deutro Melayu dan percampurannya ( perkawinan )
dengan pendatang terdahulu serta dengan orang – orang yang datang kemudian,
selanjutnya berkembang manurunkan manusia yang hidup sekarang ini. Keturunan
suku Deutro Melayu tersebutlah yang merupakan mayoritas penduduk Kampar, bahkan
Propinsi Riau pada umumnya.
Berbeda dengan Ras Wedda
yang suka berpindah – pindah Ras Rumpun Melayu suka hidup menatap, bahkan ditempat
– tempat yang dipandang baik, mereka mendirikan perkampungan / koto yang
biasanya terletak dipinggiran sungai. Di tempat – tempat seperti inilah mereka menetap bersama kaum karabatnya yang semakin
lama semakin berkembang sehingga menjadi
beberapa suku yang menempati.
II.
Penyelenggaraan
Hidup Bermasyarakat
Penyelenggaraan hidup
bermasyarakat oleh nenek moyang masyarakat Kampar pada zaman prasejarah tidak
jauh berbeda dengan masyarakat suku – suku yang sekarang hidup terbelakang /
terpencil di Kabupaten tetangga sekarang ini seperti suku sakai, suku laut dan suku kubu. Cara hidup
mereka masih saja seperti pada masa beribu tahun yang lalu, dan sangat kurang
dipengaruhi oleh peradapan baru.
Seperti yang telah
dikemukakan dalam uraian diatas, bahwa berbeda dengan penduduk asli dari Ras
Weddoide, nenek moyang masyarakat / penduduk Kampar ini berasal dari Rumpun Melayu
yang telah terbiasa hidup menetap dan pandai bertani serta berladang dalam suatu
perkampungan atau yang lazim disebut dengan koto atau kenegerian yang
kebanyakan terdapat dipinggiran sungai kampar. Pada masa awalnya kebutuhan
hidup mereka semata – mata tergantung kepada alam ( food gathering ). Mereka pindah dari satu tempat ketempat lainnya
untuk mencari bahan makanan dengan melakukan perburuan binatang dan menangkap
ikan serta mengumpulkan hasil – hasil alam dari hutan.
Terhadap daerah – daerah
yang dijumpai banyak hasil alamnya serta subur, Ras Rumpun Melayu ini biasanya
hidup menetap dalam kurun waktu yang cukup lama. Akibat cara hidup yang menetap
ini maka terjadilah pembentukan daerah demi daerah, yang merupakan perkampungan
tempat kediaman keturunan mereka, dan hal ini mendesak suku bangsa Ras Weddoide
ke daerah pedalaman ( sejarah Daerah Riau 1986 Ras Rumpun Melayu ).
III.
Kepemimpinan
Adat
Sejalan dengan pertumbuhan
perkampungan / koto yang kian waktu kian bertambah, maka dalam Ras Rumpun
Melayu yang terus berkembang tersebut, mula – mula diangkatlah seorang “ketua” biasanya
dipilih dari anggota masyarakat yang tertua dan memiliki banyak pengetahuan.
Ketualah yang membuat perintah dan peraturan pada perkampungan yang menjadi
kekuasaannya.
Daerah kekuasaan ketua
tersebut dapat bertambah dengan merangkul daerah lain masuk kedalam wilayah
kekuasaannya, atau dengan mendirikan daerah baru. Ketua yang daerah kekuasaannya
bertambah besar tersebut disebut Datuok
( Da
artinya sang, sedangkan tuok asal dari kata Tuo/Tua,
jadi datuok
artinya sang tua ) orang yang sudah tua. Demikianlah proses terjadinya
kepemimpinan yang disebut Datuok (Ninik Mamak) tersebut.
Sejak zaman prasejarah,
jauh sebelum adanya pengaruh dari bangsa lain ( India, Cina dan Arab ). Kepemimpinan
adat di daerah Kampar sudah berjalan sesuai dengan letak wilayah dan penyebaran
penduduk waktu itu. Daerah Kampar yang dialiri oleh sebuah sungai besar waktu
itu, penduduknya bertempat tinggal dan mencari nafkah bercocok tanam, untuk
kebutuhan hidunya ditepian sungai dan hutan yang ada waktu itu.
Peranan ninik mamak selaku
pimpinan adat dan penghulu sudah sangat dominan dalam menata kehidupan
bermasyarakat. Dalam periode zaman kuno pengaturan masyarakat bersendikan hukum
adat yang menyangkut segala segi kehidupan seperti perkawinan, kelahiran,
kematian, berladang dan bersawah, menangkap ikan, membangun rumah, mendirikan
tempat ibadah, jalan, jembatan, upacara / kepercayaan dan sebagainya. Ninik mamak
atau penghulu sebagai pimpinan masyarakat adat melaksanakan tugas
kepemimpinannya berdasarkan kepada hukum adat yang telah ada secara turun
menurun. Penghulu tidak dapat menurut kehendak pribadi. Ninik mamak atau penghulu
disebut perangkat adat karena merekalah yang paling mengetahui tentang seluk
beluk adat istiadat. Ninik mamak itu mempunyai wewenang penuh dalam negerinya
dan jabatan yang disandangnya diwariskan menurut adat sesuai dengan alur dan
kepatutan,… Ayu tatuang di ceghek - botuong
tumbuo dimoto.
Dalam menjalankan roda
pemerintahan, datuok dibantu oleh pegawai, dubalang beserta monti / malin.
Struktur pemerintahan adat ini dijalankan oleh pucuk pimpinan adat bersama –
sama dengan pemangku adat lainnya sesuai dengan nilai – nilai yang telah
tertanam dikenegerian tersebut. Pimpinan adat berkewajiban mengarahkan,
mendorong, mengkoordinasikan dan mengselaraskan kegiatan – kegiatan masyarakat
adat yang dipimpinnya.
Ciri – ciri kepemimpinan
adat yang mendorong keberhasilan dalam menjalankan kepemimpinan itu oleh ninik
mamak adalah seorang ninik mamak harus berwibawa, berani, mawas diri, mampu
melihat jauh kedepan, berani dan mampu mengatasi kesulitan, bersikap wajar,
tegas dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil, sederhana penuh
pengabdian, berjiwa besar, sifat ingin tahu, pendorong untuk kemajuan dan
perubahan kearah yang lebih baik, berwawasan luas, mampu mengendalikan diri,
berkorban dalam keadaan lapang dan sempit, mampu mengendalikan marah dan emosi,
memaafkan kesalahan orang lain, mengasihi sesama, menerima kesalahan kalau
benar – benar terdapat kesalahan, suka memohon keampunan kepada Allah SWT, dan
segala sesuatu yang dikerjakan berdasarkan musyawarah ( dahulukan runding dari
kerja ).
Perbedaan pendapat dalam
bermusyawarah merupakan hal yang wajar, agamapun menuntun bahwa perbedaan itu
adalah rahmat, untuk itu dalam adat selalu dibiasakan menghargai pendapat orang
lain, tidak membiasakan memaksakan pendapat kita pada orang lain, berbuat adil
dalam memimpin, menguasai banyak informasi, memiliki strategi dan bersiasat ( tahu dengan ereng jo nan gendeng, tahu biang
nan ka manombuok, gontiong nan ka mamutuih, takilek ikan dalam air, la tontu
jantan – batinonyo ).
IV.
Masa
Masuknya Pengaruh India
( Tahun 100 – 500 M )
Seperti sudah di singgung
dimuka, sungai kampar yang dahulunya merupakan sebuah sungai besar yang dapat dialiri
oleh kapal – kapal dagang dari hilir hingga kehulunya. Masyarakat pada zaman
itu tinggal di puak – puak dipinggiran sungai yang tersebar dari hulunya di
Minangga Kanwar ( Muara Takus ) sampai kehilirnya di Muaro Sako, menuju lautan Selat Malaka.
Masyarakat Kampar waktu
itu hidup dengan kegiatan berburuh binatang, mencari ikan dan mengumpulkan
hasil – hasil alam yang terdapat zaman tersebut. Nenek moyang masyarakat Kampar
itu juga telah berani melayari sungai maupun lautan dengan mempergunakan sampan
yang terbuat dari kulit kayu ( dondang ).
Pengaruh masuknya
kebudayaan India di Daerah Kampar serta Riau umumnya, sepanjang penelitian yang
dilakukan oleh para ahli belum dapat dinyatakan dalam angka tahun yang pasti.
Sumber – sumber India belum
dapat mengungkap awal hubungan Indonesia
( Kampar ) dengan India
sebelumnya. Agaknya hubungan tersebut sudah intensif sekitar abad ke II Masehi (
Sejarah Nasional Indonesia jilid II 1984 ).
Satu hal yang sangat
menarik atas pengaruh dan hubungan Kampar dengan India adalah tentang keberadaan Candi
Muara Takus. Menurut cerita rakyat Kampar Candi Muara Takus tersebut dibangun
sebagai hadiah dan pertanda adanya hubungan persaudaraan yang lazimnya di
Kampar disebut dengan “ pulang sanak “
antara kerajaan India dengan ninik mamak Kampar masa itu.
Dalam cerita rakyat Kampar,
dikisahkan tentang petualangan tiga orang ninik mamak yang gagah berani
menelusuri sungai dan lautan dengan mempergunakan perahu yang lazim dipakai
waktu itu. Dalam perjalanan petualangannya tersebut Datuk nan bertiga melihat seekor
burung gaudo ( garuda ) sedang mencangkram dan membawa terbang seorang anak
gadis yang masih muda belia. Datuk nan bertiga menduga pastilah gadis itu
disambar oleh burung tersebut dan dibawanya terbang keangkasa.
Datuk nan bertiga tersebut
adalah Dt. Rajo Dibalai ( Ahli Tabib –
pengobatan ), Dt. Bandaro Tanjung (
ahli selam ), Dt. Sati Gunung Malelo ( ahli memanah ). Setelah paham apa sebetulnya yang telah terjadi, dua orang datuk
lainnya meminta Dt. Sati Gunung Malelo
untuk mengarahkan anak panahnya pada burung tersebut. Berkat kesungguhannya
anak panah tersebut tepat mengenai burung “
Gaudo “ tersebut dan karena kesakitan akhirnya burung tersebut melepaskan
putri tersebut dari cengkramannya dan sang putri jatuh kedalam laut serta
tenggelam. Setelah menuju tempat tenggelamnya sang putri, selanjutnya dengan
persetujuan bersama Dt. Bandaro Tanjung mencari putri yang tenggelam
dengan menyelami lautan tersebut. Dengan keahlian yang dimilikinya dalam hal
menyelam serta niatnya yang tulus untuk membantu, akhirnya Dt. Bandaro Tanjung kembali ke perahu dengan membawa sang putri
yang sudah sekarat dan tidak sadarkan diri. Tanpa mengulur – ulur waktu Dt. Rajo Dibalai yang mengangkat sang
putri dan meletakkannya di dalam perahu langsung berusaha untuk menyelamatkan
nyawa sang putri yang sedang sekarat dan tak sadarkan diri tersebut. Berkat
kerja sama Datuk nan bertiga inilah sang putri yang ditemukannya itu selamat
dan sehat seperti sedia kala.
Setelah gadis tersebut sehat
dan sadarkan diri perahu yang dipakai oleh Datuk nan bertiga mulai diarahkan ke
Minangga Kanwar ( Muara Takus ) tempat asal datuk tersebut, dalam perjalanan
pulang menuju negeri Datuk tersebut, tegur sapa Datuk nan bertiga hanya dijawab
dengan gelengan dan sekali – kali senyum dari sang putri. Bahasa yang
disampaikannya juga tidak bisa dimengerti oleh sang Datuk.
Setelah sampainya di
negeri asal Datuk nan bertiga sang putri diasuh dan tinggal bersama dunsanak (
saudara ) perempuan sang Datuk. Disinilah sang putri tinggal bersama gadis –
gadis Kampar dalam waktu yang cukup lama. Hanya melalui ucapan – ucapan yang
tidak dimengerti sepenuhnya oleh gadis Kampar waktu itu dan nyanyian – nyanyian
yang selalu disenandungkan sang putri komunikasi dapat dilakukan, makanya
sampai sekarang orang Kampar, banyak yang menyenangi lagu India.
Datuk nan bertiga beserta
pemuka adat lainnya setiap kesempatan membuat pemberitahuan dengan benda –
benda dan bahasa isarat dengan alat
komunikasi waktu itu dan menghanyutkan disungai kampar perihal ditemukannya
seorang putri tersebut, sehingga berita tentang ditemukannya sang putri
menyebar luas melalui para pelaut dari luar maupun dari negeri Kampar sendiri.
Kedatangan Rombongan
kerajaan India di Kampar
Bagi pelaut, pelaut ulung,
tidaklah terlalu sulit untuk mencapai kepulauan Sumatera dari India. Mereka cukup dengan
mengarahkan haluan kapal mereka ke timur dan berlayar dengan angin musim yang
sedang berhembus dari Buritan. Apalagi teknologi pelayaran telah berkembang
oleh pedagang – pedagang yang menuju Asia Barat waktu itu.
Sungai Kampar yang bermuara
ke Selat Malaka, merupakan lalu lintas bagi kapal – kapal besar baik menuju dan
datang dari Samudra India.
Kabar bahwa ada seorang
putri yang ditemukan oleh ninik mamak Kampar dan saat itu masih berada di
Kampar, terdengar oleh raja India
yang memang telah lama mencari putrinya tersebut. Setelah mendapatkan informasi
yang jelas, kerajaan India
langsung mempersiapkan pasukan untuk menjemput putri tersebut menuju Minangga
Kanwar. Jauh sebelum adanya informasi tentang keberadaan putri tersebut di
Minangga Kanwar, Raja India
telah pula mencari dibeberapa daerah, baik dari pasukan yang menggunakan jalur
laut, dan ada juga pasukan darat dengan berkendaraan gajah.
Namun setelah adanya informasi
bahwa putrinya tersebut berada di Minangga Kanwar, seluruh pasukan baik pasukan
berkendaraan gajah maupun pasukan dengan kapal laut seluruhnya dikerahkan
menuju Minangga Kanwar.
Mendengar akan datangnya
rombongan pasukan dari kerajaan India
untuk menjemput putrinya yang telah lama tinggal di Minangga Kanwar, Datuk nan
bertiga beserta ninik mamak lainnya melakukan rembuk dan musyawarah untuk
menyepakati persiapan penyambutan rombongan pasukan kerajaan dari India
tersebut. Para ninik mamak penghulu adat yang telah mendiami puak – puak
disepanjang tepian sungai kampar semua berdatangan ke Minangga Kanwar guna merembukkan
persiapan penyambutan rombongan pasukan kerajaan India tersebut.
Satu persatu rombongan –
rombongan kecil akhirnya sampai di Minangga Kampar, rombongan yang pertama kali
sampai yaitu rombongan dengan mempergunakan kapal laut, karena ingin segera
menyelamatkan sang putri rombongan dengan kapal ini berencana akan melakukan penyerangan
ke daerah daratan, kapalnyapun disandarkan disebuah batu yang ada waktu itu,
sampai sekarang batu tersebut oleh masyarakat Batu Bersurat disebut sebagai batu
sandaran kapal, yang berlokasi di Bukit Kincung.
Oleh salah seorang orang
tua waktu itu bernama Datuk Simalancar
dengan diplomasi dan siasatnya, berhasil menahan serangan rombongan tentara
kerajaan India tersebut, hanya dengan menanam dan meletakkan daun jelatang
dipinggiran sungai dan menyampaikan kepada rombongan yang berada dalam kapal
laut untuk tidak melakukan serangan, karena disini tidak ada kerajaan yang
berkuasa, yang ada hanya para ninik mamak pemangku adat yang masing – masing memiliki
kesaktian. Namun karena ingin segera menyelamatkan sang putri, rombongan
pasukan kapal tersebut dikomandokan kedaratan untuk menjemput dan menyelamatkan
sang putri. Tidak berapa lama mereka mendarat dan berpencar tiba – tiba mereka
kembali semua ke kapal tidak tahan menahan kulitnya yang gatal – gatal dan
membengkak akibat daun jelatang.
Akhirnya pimpinan
rombongan pasukan kapal tersebut menyampaikan bahwa mereka tidak akan melakukan
serangan lagi. Barulah ninik mamak, pemangku adat, orang – orang tua beserta
para bomo dan seluruh masyarakat Kampar waktu itu melapangkan jalan dan
menyambut kedatangan rombongan kerajaan India tersebut dengan tradisi
adat istiadat waktu itu.
Ternyata diluar dugaannya semua,
rombongan kerajaan India sangat berkesan sekali atas sambutan dari ninik mamak dan
masyarakat Kampar waktu itu, sang putri yang jemputnyapun ditemui dalam keadaan
sehat dan bersenang hati, mala sang putri enggan untuk meninggalkan daerah
Minangga Kanwar karena sang putri sangat kerasan dan senang tinggal di Minangga
Kanwar karena masyarakatnya yang memiliki sopan santun serta beradapan yang
tinggi dengan adat istiadatnya yang luhur.
Karena sang putri dibujuk
tidak mau dibawa pulang, akhirnya sebagian rombongan kerajaan India ini kembali lagi ke India dan
sebagiannya lagi tetap berada di Minangga Kanwar, sambil menunggu kedatangan
pasukan lainnya yang mempergunakan jalan darat memakai kendaraan gajah. Oleh ninik
mamak, kepada rombongan yang akan kembali ke India,
dititipkanlah hasil – hasil bumi dan hutan Kampar untuk Raja India sebagai tali hubungan
persahabatan.
Sepanjang penelitian
sejarah selama ini baik berdasarkan sumber – sumber dari dalam negeri maupun
dari luar, belum dapat diungkapkan angka tahun yang pasti kedatangan rombongan
kerajaan India
tersebut. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid II edisi ke 4 tahun 1984
terbitan Balai Pustaka, disebutkan bahwa telah terjadi hubungan dagang yang
relatif sudah intensif sekitar abad II Masehi. Karena kedatangan rombongan
kerajaan India
inilah terbukanya informasi ke dunia luar bahwa Negeri Kampar dan kepulauan
Sumtera yang bernama Swarnadwipa
waktu itu merupakan daerah yang subur dan memiliki beraneka ragam hasil bumi
dan hutan.
Keengganan sang putri
untuk kembali ke Negerinya di India, dan keinginannya untuk menetap di Minangga
Kanwar, mengundang masyarakat dunia untuk melihat dan datang ke Minangga Kanwar.
Raja India
sendiri menyetujui keinginan sang putri dan sebagai pengawal/penjaga keamanan
atas banyaknya masyarakat dunia lain berdatangan, maka ditetapkanlah petugas
pengamanan sebagaimana layaknya sebuah kerajaan. Putri Indira Dunia beserta pengawalnya dan perwakilan kerajaan
tinggal dalam suatu komplek yang didalamnya juga dibangun candi – candi untuk
kegiatan keagamaan sesuai dengan kepercayaan waktu itu.
Dari aktifitas di komplek percandian inilah
adanya pengaruh agama Hindu terhadap masyarakat Kampar waktu itu. Masyarakat
Kampar yang dikepalai oleh Datuk sebagai ninik mamak beserta Bomo, Batin, Dukun
dan Pawang sebagai penghubung dengan roh – roh Nenek Moyang terdahulu.
Dalam hal adat, Nenek
Moyang sebagai penghulu dan pimpinan adat, sangat dihargai keberadaannya oleh
perwakilan kerajaan India
yang berada di Minangga Kanwar waktu itu. Ninik mamak beserta anak kemanakan hidup
dengan mengumpulkan hasil – hasil alam serta mencari ikan disepanjang tepian
sungai kampar. Hasil alam yang dikumpulkan tersebut dipertukarkan dengan
kebutuhan lainnya dikomplek percandian untuk selanjutnya diperdagangkan oleh
perwakilan kerajaan India keluar Negeri, sehingga dalam kurun waktu yang cukup
lama, akhirnya Minangga Kanwar muncul sebagai kerajaan yang menguasai perdagangan
dunia waktu itu.
Ninik mamak beserta
masyarakat setempat juga berkembang mencari daerah – daerah baru yang subur
serta banyak hasil alamnya sebagian ada yang mengembara menjelajahi daratan
disebelah barat Minangga Kanwar yang terkenal alamnya sangat subur, dan ada
juga yang menyelusuri tepian sungai kearah timur Minangga Kanwar. Demikian juga
selanjutnya ada yang kearah utara dan selatan sehingga banyak daerah – daerah
baru yang terbentuk sejalan dengan pesatnya perdagangan waktu itu.
Terhadap daerah – daerah
baru yang terbentuk, diangkatlah penghulu – penghulu adat sebagai pimpinan
masyarakat adat, pimpinan adatlah yang memberikan aturan kepada masyarakat
adatnya sehubungan dengan kegiatan mengumpulkan hasil alam serta kegiatan
kemasyarakatan lainnya. Hasil – hasil alam tersebut selanjutnya dipertukarkan
di komplek percandian untuk menjadi barang dagangan ke luar Negeri. Oleh pihak
kerajaan India
yang hanya berkuasa sebatas lingkungan komplek percandian, sangat menghargai para
ninik mamak karena jasa – jasanya yang sangat besar dalam menyelamatkan sang
putri serta dalam menggerakkan masyarakat adat dalam mengumpulkan hasil – hasil
alam.
Demikian juga para ninik
mamak dari berbagai koto yang telah banyak terbentuk waktu itu, saling hargai –
menghargai, tidak ada yang ingin mencampuri urusan ninik mamak satu koto oleh ninik
mamak dari koto lainnya, mereka saling membina dan mengayomi anak kemanakan
masing – masing, tidak ada yang mendominasi satu dengan yang lainnya. Tidak
pernah ada perang saudara kalaupun ada perselisihan dan silang pendapat
diselesaikan dengan musyawarah, satu koto / kenegerian dengan koto / kenegerian
lainnya saling isi – mengisi, kunjung – mengunjungi, sanjung – menyanjungi dan
menjalin hubungan kekeluargaan yang sangat akrab sekali, pada acara – acara
perkawinan dan acara lainnya ninik mamak kedua belah pihak saling bertemu, dan
perkawinan anak kemanakan diantara mereka menjadi tali perekat hubungan yang
semakin erat.
Akibat daerahnya yang
subur dan banyak memiliki hasil hutan serta masyarakatnya yang dinamis
tersebut, menjadikan kerajaan di Minangga Kanwar saat itu sebagai pusat
perdagangan yang besar. Pihak kerajaan hanya mengurusi perdagangan, sementara
urusan kemasyarakatan menjadi wewenang ninik mamak selaku penghulu adat, dengan
hanya berkonsentrasi pada bidang perdagangan tersebut akhirnya kerajaan
Minangga Kanwar tumbuh sebagai kerajaan yang menguasai perdagangan dunia saat
itu.
Apa nama kerajaan yang
berpusat di Minangga Kanwar dulu, sekarang merupakan daerah Muara Takus, dimana
terdapatnya Candi peninggalan sejarah, masih belum dapat terungkap, agaknya
diperlukan kajian – kajian dan penelitian yang lebih infensif serta pengumpulan
informasi – informasi baik dari dalam maupun dari luar untuk mengungkap fakta
sejarah Candi Muara Takus tersebut.
V.
Masa
Kepindahan Kerajaan Indah Dunia (Tahun 500 – 1000 M)
Perihal kepindahan pusat kerajaan
indah dunia yang semula berpusat di Minangga Kanwar tidaklah dapat dinyatakan
dalam angka tahun yang pasti. Kepindahan tersebut lebih disebabkan oleh sungai
kampar sebagai lalu lintas kapal dagang dari berbagai Negara waktu itu, secara
beransur - ansur mulai menyusut dan tidak dapat lagi dilayari sampai kehulunya di
Minangga Kanwar. Sumber – sumber dari Kampar sendiri belum bisa mengungkapkan
tentang kejayaan dan kemajuan daerah ini pada awal tarikh Masehi. Mungkin masa
yang akan datang perlu penelitian yang lebih mendalam tentang sejarah masa lalu
daerah ini, untuk membuka tabir rahasia dibalik keberadaan Candi Muara Takus
yang sampai sekarang menjadi saksi bisu terhadap apa – apa yang telah terjadi
di Negeri ini pada masa silam.
Akan halnya kepindahan
rombongan kerajaan tersebut terlihat pada prasasti kedudukan bukit dan Talang
Tuo, yang ditemukan di Palembang
bertahun ke 682 Masehi dan 684 Masehi.
Prasasti ini memuat berita
mengenai berangkatnya 20.000 orang tentara laut ke Palembang
dengan armada dan 1.312 orang tentara darat dan berhasil merebut kota (Pangkalan) di Palembang.
Kepindahan kerajaan Indah Dunia Minangga Kanwar tersebut bukanlah dilakukan
sekaligus, akan tetapi pindah secara beransur – ansur yang terlebih dahulu
dengan mengutus orang – orang tertentu untuk mencari daerah baru.
Dapunta
Hyang Sri Jayanaga
yang berkuasa waktu itu ingin tetap mempertahankan sentral perdagangan dunia
pada kerajaan yang dipimpinnya, karena sungai kampar yang selalu dan beransur –
ansur surat permukaan airnya, tidak lagi strategis posisinya karena tidak dapat
lagi dilalui oleh kapal – kapal dagang yang besar, maka Raja memerintahkan
untuk mencari daerah baru yang tidak jauh dari Selat Malaka, maka diutuslah pegawai
– pegawai kerajaan untuk mencari daerah baru disekitar Jambi dan Palembang,
untuk dapat menguasai Selat Malaka sebagai lalu lintas perdagangan dunia waktu
itu.
Bagi masyarakat dan ninik
mamak waktu itu, kepindahan kerajaan tersebut tidaklah terlalu dipermasalahkan,
karena waktu itu, sudah banyak juga pedagang setempat yang ikut berdagang
sampai keluar negeri, malah dengan kepindahan pusat perdagangan oleh kerajaan
waktu itu, membuka peluang bagi pedagang dari masyarakat sendiri untuk lebih
mengembangkan usahanya.
Bagi pedagang setempat hal
ini menjadi peluang untuk terlibat langsung dalam perdagangan dunia waktu itu.
Banyak dari pedagang tersebut yang telah memiliki omset besar bahkan menjadi
kaya raya, toke dan saudagar yang terkenal. Malah dengan kekayaannya tersebut ada
yang lupa akan asalnya, menjadi sombong atas kemajuan yang diperolehnya serta
durhaka kepada orang tuanya. Seperti kisah “
Silancang ” yang terdapat dalam cerita
rakyat masyarakat Kampar.
Bersamaan dengan
kepindahan pasukan kerajaan tersebut yang seiring dengan menyusutnya permukaan
air sungai kampar, ninik mamak dan masyarakat yang menetap dipinggiran
sepanjang sungai kampar waktu itupun beransur – ansur turun mengikuti permukaan
air yang terus menyusut, dan menempati daerah – daerah baru yang timbul bagai
pulau – pulau yang sangat subur. Maka dengan daerah – daerah yang baru timbul
dan pinggiran – pinggiran sungai yang subur tersebut, maka banyak dari
masyarakat yang ada waktu itu berpindah propesi dari berburu dan mengumpulkan
hasil hutan / alam menjadi petani.
Agaknya hal inilah yang
menyebabkan nama – nama desa dari hulu sungai kampar hingga ke hilirnya banyak
yang memakai istilah – istilah pulau seperti Pulau Jambu, Pulau Payung, Pulau
Sarak, Pulau Rambai, Pulau Baru dan sebagainya ini menandakan bahwa daerah
tersebut adalah daerah yang baru timbul akibat menyusutnya permukaan sungai
kampar.
Ninik mamak penghulu adat
yang memerintah waktu itu dengan keaktifannya mengatur daerah – daerah yang
timbul tersebut menjadi negeri – negeri yang memiliki batas – batas untuk
menjadi garapan masyarakat anak kemanakan waktu itu.
Candi Muara Takus sebagai
pusat kerajaan dan pusat agama Budha yang cukup berkembang dan termashur waktu
itu akhirnya tinggal begitu saja. Baru akhirnya reruntuhan Candi tersebut ditemukan
kembali oleh seorang belanda pada akhir abad ke 18.
Menurut cerita rakyat dari
berbagai daerah di Kabupaten Kampar tanpa dapat menyebut angka tahun yang
pasti, sungai kampar pernah beberapa kali mengalami banjir besar ( ampuo ) dan
sangat banyak menelan korban jiwa. Apakah itu gempa bumi yang diikuti oleh
sunami kitapun diera sekarang ini masih sulit untuk memastikannya, tapi dalam
kurun waktu yang sangat lama dan berabad – abad tersebut hal itu mungkin saja
pernah terjadi sebagai akibat dari gejala – gejala alam.
Yang menarik dari
kepindahan kerajaan Indah Dunia tersebut adalah keutuhan para ninik mamak dari
berbagai negeri di Kabupaten Kampar ini yang tetap dengan pola kepemimpinan
adatnya. Meskipun mereka diperkenalkan dengan system kerajaan selama kurun
waktu berabad – abad dengan kehadiran kerajaan dikomplek percandian Muara
Takus, namun kepemimpinan yang dilaksanakan di Kampar tetap dengan pola
kepemimpinan adat, tidak ada raja yang berkuasa, semua beraja kemufakat. Segala sesuatu yang akan dilaksanakan
terlebih dahulu dimusyawarahkan dan disepakati bersama. Sepanjang sejarah yang
kita terima dan bukti – bukti outentik saat ini di Kampar hampir tidak ada raja
yang berkuasa. Kalaupun ada, itu hanya bersifat sementara seperti kerajaan di
kenegerian Kampar menurut nenek mamak disana raja tersebut merupakan raja yang
berasal dari Malaka (Malaysia).
Demikian juga halnya dengan kerajaan gunung sahilan, dikedua daerah tersebut
disamping memiliki raja, namun keberadaan ninik mamak tetap eksis sebagai pengayom
masyarakat, keberadaan ninik mamak selaku penghulu adat dan pimpinan masyarakat
adat lebih dominan dibandingkan fungsi kerajaan.
Kepemimpinan adat lebih
bisa diterima oleh masyarakat Kampar dibanding dengan sistim kerajaan, banyak
juga yang datang dari berbagai daerah ke Kampar untuk mendirikan kerjaan, namun
tidak ada yang terlaksana dengan baik, sehingga yang datang tersebut terpaksa
mencari daerah lain selain Kampar, hingga sampai ke Siak dan daerah - daerah lain
diluar Kampar.
VI.
Zaman
Masuknya Pengaruh Islam ( Tahun 1.000 – 1.300 )
Kampar selalu menjadi
perhatian bagi para sejarahwan dalam hal mengungkap berbagai kebenaran
peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Karena alamnya yang subur dan
hasil buninya yang telah terkenal semenjak abad pertama masehi, daerah ini
menjadi tujuan dari pedagang dari berbagai penjuru dunia untuk menjalin
perdagangan. Sebagai pusat penghasil lada dan marica, anatara tahun 500 – 1.400
Masehi, banyak orang asing yang berdatangan seperti Cina, Persia
dan Arab. Dari pedagang – pedagang Persia
dan Arab tersebut agama Islam mulai masuk melalui hubungan perdagangan waktu
itu.
Dinasti Umayah yang
berkuasa di negeri Arab berusaha untuk menjalin langsung hubungan dagang dengan
Kampar serta melepaskan diri dari ketergantungan pada negeri Cina. Akibatnya
kerajaan T’ang ( Dinasti yang berkuasa di Cina ) dengan dukungan angkutan laut
yang kuat menentang dan akhirnya berhasil mendesak pedagang – pedagang Arab dan
Persia dari Kampar tahun 720 M sehingga agama Islam yang dibawa oleh pedagang –
pedagang Arab, Persia, Gujarat itu tidak sampai tersebar luas di Kampar.
Sementara itu dinasti Umayah ditanah Arab dikalahkan
oleh Dinasti Abbassiyah, yang tidak
mempunyai perhatian terhadap pelayaran dan kurangnya kekuatan dibidang maritim.
Sehingga perdagangan Islam mengalami kemunduran. Pada pertengahan abad ke XII Dinasti Abbassiyah
mengalami keruntuhan dan pusat kegiatan Islam berpindah ke Mesir di tangan raja
– raja mameluk. Pada abad XII pedagang Arab dan Persia muncul lagi di Kampar tepatnya
didaerah Kuntu, yaitu pada saat memuncaknya kekuasaan kesultanan Mesir ( Fatimiyah ).
Pada saat yang sama di
Aceh berdiri pula kerajaan Islam Dayah
dibawah Sultan Johan Syah, dan kerajaan
Islam Dayah ini tunduk dibawah kesultanan
Mesir.
Bukti sejarah masuknya
agama Islam ke Kampar yaitu adanya kuburan Syech
Burhanuddin di Kuntu yang menurut sejarahnya menetap di Kuntu dari tahun
1171 M dan wafat pada tahun 1191 M. Pada saat beliau mengembangkan ajaran Islam,
masyarakat Kampar waktu itu sudah dibawah kepemimpinan adat namun belum lagi
memiliki agama. Kepercayaan dan budaya waktu itu masih peninggalan kebudayaan
Hindu dan Budha yang berpusat di Minangga Kanwar. Ninik mamak pemangku adat
yang lazim dipanggil Datuk beserta para Bomo ( orang yang punya kemampuan
berkomunikasi dengan roh leluhur dan makhluk halus ) memegang peranan yang
sangat penting dalam memimpin masyarakat waktu itu.
Masuknya pengaruh agama
Islam ditengah – tengah masyarakat didahului dengan diterimanya ajaran – ajaran
Islam tersebut oleh ninik mamak, baru selanjutnya menyebar luas kepada masyarakat lainnya, Syech Burhanuddin sebagai penyebar
ajaran Islam, sewaktu pertama datang ke Kuntu, beliau langsung mencari ninik
mamak disana yang bergelar Datuk Mahudum.
Melalui Datuk inilah beliau terus menerus menyebarkan ajaran Islam keberbagai
daerah disekitarnya dengan perantara ninik mamak. Untuk kepentingan penyebaran ajaran Islam beliau
juga mengawini gadis daerah Kuntu dari suku Melayu Singkuang yang bernama Putri Cendrawasih.
Melalui perkawinan dan
kegiatan – kegiatan keagamaan lainnya itulah, ajaran Islam diselaraskan dengan
adat istiadat yang telah dianut oleh masyarakat selama ini. Ajaran Islam dan
adat saling melengkapi dan tunjang menunjang seperti dalam ungkapan mengatakan adat
bersendi sarak (agama) sarak bersendi kitabullah. Nilai – nilai adat istiadat
yang telah mengatur norma – norma dalam kehidupan, bermasyarakat selama ini, menjadi
semakin kuat dan terpelihara dengan masuknya ajaran Islam yang sama – sama
bertujuan membawa ke kebaikan. Dengan berkembangnya ajaran Islam tersebut
seluruh tingkah laku dan perbuatan serta dalam melaksanakan hak dan kewajiban
yang tidak sesuai dengan tuntutan Islam beransur – asnur ditinggalkan, halal
dan haram, seperti kebiasaan memakan labiuku, tupai, koluang oleh nenek moyang
kita selama ini mulai ditinggalkan. Penobatan ninik mamakpun dipilih dari orang
– orang memiliki ilmu agama dan ketaqwaan yang tinggi terhadap Allah SWT.
Dari Kuntu, Islam menyebar
berbagai daerah disekitarnya. Para pemeluk agama Islam yang berada di Kuntu,
banyak yang melarikan diri keluar Kuntu akibat serangan dari pasukan Adityawarman tahun 1349 M dalam rangka
merebut daerah peper producing dari tangan Islam. Agama Hindu – Jawapun masuk ke
Kuntu, sebagian rakyat yang sudah beragama Islam yang tidak suka, tunduk dan menganut
agama Hindu – Jawa. Meninggalkan daerah Kuntu melalui Padang Sawah, Domo, Ludai,
Batu Sasak, Mangilang, Pangkalan, Koto Baru, Rokan, sampai akhirnya ajaran
Islam tersebut menyebar luas ke berbagai daerah di Sumatera.
Masuk dan berkembangnya ajaran
Islam tidak mendapatkan penolakan serius dari masyarakat Kampar waktu itu, hal ini disebabkan karena nilai
adat yang telah tertanam selama ini. Sangat televan dengan ajaran Islam sehingga
para penghulu adat lebih dahulu dapat menerima dan akhirnya diikuti oleh
masyarakat adat lainnya.
Penghulu adat selaku
pimpinan formal masyarakat adat, strukturnyapun disempurnakan dengan unsur –
unsur ulama selaku orang yang menguasai
ilmu agama dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya Malin sebagai pembaca do’a
dalam acara - acara adat dan keagamaan dalam masyarakat, merupakan bukti nyata atas
diterimanya pengaruh agama Islam dalam masyarakat adat. Sehingga dalam
pengaturan kehidupan bermasyarakat disamping berpedoman pada aturan dan nilai –
niali adat juga berdasarkan anjaran agama Islam, seperti ungkapan “agama mangato, adat memakai”.
VII.
Terbentuknya
Andiko 44
Setelah Sriwijaya runtuh
diabad ke XIII, Sumatera tidak lagi memiliki sebuah kerajaan yang dapat
menguasai pulau ini secara keseluruhan. Disaat di Pulau Jawa tumbuh sebuah
kerajaan besar bernama Majapahit, Sumatera justru bermunculan kerajaan –
kerajaan kecil dari daerah – daerah yang dulunya merupakan Mandala dari
Sriwiyaja. Kampar yang dulunya merupakan sebuah sungai besar, timbul menjadi
daerah baru yang terbentang diantara 3 (tiga) sungai yaitu sungai Rokan, Sai
Kampar, dan Batang Kuantan.
Daerah bekas genangan air
yang berangsur mengiring tersebut, merupakan lahan subur bagi usaha pertanian,
sehingga merubah mata pencarian masyarakat dari berburuh dan mengumpulkan hasil
hutan menjadi petani. Peran ninik mamak selaku pimpinan masyarakat adat sangat
diperlukan terutama dalam menata pembagian wilayah untuk bercocok tanam bagi
anggota persukuan masing – masing. Sampai sekarang pembagian wilayah yang dalam
istilah adatnya lebih dikenal dengan istilah ulayat memiliki batas – batas alam
yang satu kenegerian dengan kenegerian lainnya tidak ada yang tumbang tindih.
Sepanjang mengikut apa yang sudah menjadi ketetapan oleh para pendahulu. Karena
kearifan dan kepedulian dari ninik mamak inilah, menjadikan para ninik mamak
sebagai pemimpin yang memiliki Kharisma di hati masyarakat adatnya.
Sehingga Kampar abadi
sebagai negeri beradat, dengan ninik mamak selaku penghulu dan pimpinan masyarakat
adatnya. Dan keberadaan pimpinan adat tersebut disegani oleh berbagai daerah
yang ada disekitar Kampar.
Pada saat Adityawarman menjadi raja di
Pagaruyung, tahun 1347 Masehi diutuslah oleh beliau 2 (dua) orang petinggi
kerajaan Pagaruyung ke Kampar yaitu Datuk
Pepatih nan sabatang dan Datuk Ketemenggungan.
Beliau berdua diutus
dengan maksud untuk menjalin persaudaraan dan menghimpun kekuatan dengan para
ninik mamak pemangku adat yang berada disekitar Muara Takus karena Muara Takus
waktu itu terkenal sebagai daerah “
Telaga Undang – Undang “ ( pusat dari berbagai undang – undang adat )
seperti dalam adat dikatakan “Undang –
Undang di Kampar kiri, Undang Jati di Kampar kanan, Telaga Undang di Muara
Takus”. Sebagai hasil dari misi tersebut dicaturlah adat ini dan
terbentuklah pemerintahan Andiko nan 44. (Empat puluh empat) merupakan jumlah
negeri yang tergabung dalam pemerintahan Andiko itu. Dan sebagai pusatnya
ditetapkan di Muara Takus dengan Pucuk
Andikonya Datuk Rajo Duo Balai.
Adapun
pucuk – pucuk Andikonya adalah sebagai berikut :
A. Negeri
di XIII Koto Kampar
1.
Muara
Takus Dt.
Rajo Dibalai
2.
Tanjung Dt.
Bandaro
3.
Gunung
Malelo Dt.
Sati
4.
Siberuang Dt.
Besar
5.
Tabing Dt.
Besar
6.
Gunung Bungsu Dt. Bandaro Mudo, Temenggung, Dt.
Sindo
7.
Koto
Tuo Dt.
Malintang
8.
Pongkai Dt.
Besar
9.
III
Koto Batu Bersurat Dt.
Khalifah
10. Tj. Alai Dt.
Besar
11. Muara Mahat Dt. Putio
12.
Pulau Godang Dt.
Tandiko
13. Balung Dt.
B. Negeri
di 5 Koto
14. Kuok Dt.
Bosan
15. Salo Dt.
Permato Said
16. Bangkinang Dt. Bandaro Sato
17. Air Tiris Dt. Bandaro Hitam
18. Rumbio Dt.
Godang
C. Negeri 5 Selo Rokan
19. Rokan IV Koto
20. Tambusai
21. Rambah
22. Kepenuhan
23. Kunto Darussalam
D. Negeri
di Tapung
24. Tandun Dt.
Bandaro
25. Kabun Dt.
Bandaro
26. Batu Gajah Dt. Bandaro
27. Petapahan Dt. Majo Indo
28. Aliantan Dt. Bandaro
29. Sikijang Dt. Bandaro Mudo
30. Sinama nenek Dt. Bandaro
Penguhu Muara Saka
31. Buluh Nipis Dt. Marajo Besar
32. Buluh Cina Dt. Rajo
33. Langga Dt.
Rajo Bilang Bungsu
E. Negeri
Kuantan Singingi Dt. Jalo Sutan
F. Negeri Kapur Sembilan
Muara
Peti Dt.
Bandaro Kuning
Sialang Dt.
Bandaro Hijau
Koto Tuo Atas Dt. Bandaro Kayo
Muara Lolo Dt.
Bandaro Sati
G. Bongo
Setangkai